"Ini murni keberhasilan kerja intelijen kita dan TNI terutama. Saya amati betul bagaimana proses kerja intelijen kita dengan dukungan penuh dari TNI kita dalam mengupayakan pembebasan para sandera," kata pengamat politik Boni Hargens dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (4/5).
Menurutnya, Kemenlu hanya mengambil keuntungan politik dari keberhasilan intelejen dan TNI. Sebab, sangat mustahil apabila Kemenlu bisa negosiasi dengan kelompok Alhabsy Misaya pimpinan Uddon Hassim. Kelompok ini merupakan cabang dari grup Abu Sayyaf yang merupakan kelompok radikal yang utama di selatan Filipina. Abu Sayyaf dibentuk tahun 1989 oleh Abdurajak Janjalani.
"Tidak mungkin menghadapi kelompok seperti ini hanya dengan mengandalkan diplomasi yang berbasis teks buku. Operasi seperti ini selalu merupakan keunggulan intelijen karena berkomunikasi dengan para teroris itu tidak mudah. Diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang mereka, termasuk bagaimana cara efektif berkomunikasi dengan mereka.," kata Boni yang beberapa waktu lalu 'mendadak' jadi Komisaris Antara ini mengikuti jejak Fadjroel Rahman yang juga 'mendadak' jadi komisaris BUMN. Keduanya adalah relawan pro Jokowi, yang terdepan membela orang ini sampai nafas terakhir.
Dia kembali mengenang saat Mutia Hafitz dari Metro TV disandera di Timur-Tengah. Saat itu, Pak Saud Ahmad, intelijen yang kala itu bertugas di Timur Tengah sangat berperan dalam upaya pembebeasan Mutia.
"Dialah yang berkomunikasi dengan kelompok teroris di sana dan membebaskan Mutia. Ini hanya contoh supaya politisi seperti Bu Retno jangan menjadi pahlawan kesiangan dengan mengakui pembebasan sandera ini sebagai keberhasilan diplomasi," tegas Boni.
"Ini murni kerja intelijen dan TNI. Negara harusnya memberikan apresiasi dan penghargaan kepada BIN dan TNI yang telah berjasa mengupayakan pembebasan para sandera ini."
Sebelumnya, sejak pelepasan sandera 10 WNI dari tangan kelompok Abu Sayyaf, Yayasan Sukma yang berada di bawah naungan Surya Paloh mengklaim sebagai pihak yang paling aktif terlibat dalam proses ini lewat jalur pendidikan, yang dikatakan Menlu Retno sebagai 'diplomasi teks buku'. MetroTV dan Media Indonesia sebagai dua ujung tombak media massa milik Surya Paloh dengan gencar memberitakan hal tersebut, dan ini akhirnya menimbulkan kegaduhan karena pihak resmi yang ditunjuk sebagai negosiator adalah Kivlan Zein yang memang sudah puluhan tahun malang-melintang di Filipina dan kenal dengan seluruh jaringan perjuangan di Filipina, bahkan bersahabat dekat dengan Nur Misuari, tokoh utama Pergerakan Bangsa Moro. Kivlan menyebut Yayasan Sukma sebagai "Menyalip di tikungan".
Dan soal kasus penyanderaan terhadap dua jurnalis MetroTV beberapa waktu lalu, yang berperan aktif dalam proses negosiasi malah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Hal ini sampai sekarang ditutupi oleh rezim penguasa dan Ustadz Baasyir malah dijadikan ikon terorisme di Indonesia di mana sampai sekarang masih dipenjara. Dengan demikian dana asing untuk proyek pemberantasan terorisme tetap mengalir. Dimana ada kasus, disitu uang mengalir, bukan? [erm]