Bicara Soal Halal dan Haram, Indonesia Masih Kalah Dengan Negara Non-Muslim

Pengurus Besar Nahdatul Ulama (NU), KH Hafidz Taftazani, menyayangkan sikap masyarakat Indonesia yang masih terlalu cuek dengan segala sesuatu berbau haram dan halal. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, hal-hal semacam ini seharusnya lebih diperhatikan dan tidak boleh kalah dari negara-negara yang mayoritas non-muslim.


"Tinjauan modern terkait halal dan haram memang sangat menarik. Di saat negara non-muslim gencar sekali membicarakan produk halal, sementara negara Indonesia ketinggalan," kata Hafidz dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (28/6/2016).

Lihat saja di Ghoangzu dan Singapura. Di sana masyarakatnya berbondong-bondong memasuki restoran berlabel halal. Sedangkan di Indonesia jangankan restoran, produk-produk halal belum menjadi bagian yang penting.

Menurut Hafidz, kita boleh acuh terhadap sesuatu yang halal atau haram kalau produk tersebut kita sendiri yang membuat dan kita sendiri yang menggunakannya. Tapi ketika berbicara mengenai kepentingan orang banyak, secara otomatis kita harus memikirkan apakah produk itu halal atau haram.

"Ada batasan yang seharusnya kita pahami. Yang tidak dikatakan di syariat itu haram berarti halal. Babi itu haram, darah itu haram, minuman keras haram, penyembelihan yang tidak menggunakan bismillah juga haram. Binatang yang hidup di dua alam juga haram," kata Hafidz.

Akan tetapi yang terjadi di Indonesia, ujar Hafidz, sesuatu yang sebenarnya haram dijadikan sesuatu yang wah dan menimbulkan kesan barang tersebut tidak haram.

"Di Jogja ada satai penyu, ditulis besar-besar di media, tapi mereka tidak tahu kalau itu haram. Penyu itu hidup di dua alam. Yang namanya satai anjing dipersiapkan, tak penting itu haram atau halal. Ada lagi koran yang menulis soal satai ular yang katanya sebagai obat," kata Hafidz.

"Itu semua haram, tapi dibikin seolah-olah halal," kata Hafidz menekankan. [lp6]