Inilah 'Barton', Kota Yang Islami Tapi Tak Mengenal Islam

Sudah lebih dari seminggu saya berada di kota ini. Barton namanya. Sebuah kota di wilayah utara negara bagian Vermont, Amerika Serikat. Tak jauh dari perbatasan Kanada. Barton sebuah kota yang tenang di mana para penghunginya kerap meninggalkan rumah tanpa dikunci.


Berbagai kendaraan mewah diparkir tanpa pengawasan. Warung-warung kecilnya hanya dilengkapi penjelasan harga barang tanpa seorang pun penjaga. Jika Anda ingin berbelanja, silakan ambil sendiri, lalu masukkan uang ke dalam kotak sesuai harga yang ditentukan.

Ini adalah kota di mana remajanya paling tidak suka bercita-cita menjadi polisi. Bagi mereka, polisi itu profesi tanpa pekerjaan. Polisi kurang dibutuhkan karena tidak banyak yang perlu ditangani polisi di kota ini. Lalu lintas sangat aman karena kendaraan relatif sedikit. Jalan raya dan lingkungan sangat bersih. Sulit sekali menemukan ada sampah seukuran kertas permen sekalipun di tempat-tempat umum.

Negeri ini mirip negeri dongeng yang diceritakan nenek saya di masa lalu. Negeri yang katanya dihuni orang-orang beriman dan menerapkan syariat Islam. Negeri aman yang kehidupan masyarakatnya sejahtera. Negeri di mana tindakan kriminal sekecil apa pun sangatlah tabu.

Tapi Barton bukanlah wilayah yang menerapkan syariat Islam. Malah penduduknya tidak mengenal Islam. Orang-orang di kota ini bahkan kesulitan menyebut namaku yang sedikit berbau Arab. Terkadang mereka menyebut Emedi, Fredy, atau Medy. Agar tidak kacau balau, aku lantas meminta mereka memanggilku Edy, nama yang asing bagiku, tapi tentu lebih mudah untuk mereka ucapkan.

Sama sekali tak ada masjid di kota ini, sehingga dua kali sudah saya tidak menunaikan shalat Jumat. Aku tidak tahu apakah ada warga muslim mendiami kota ini. Catatan Wikipedia menyebutkan kalau kota ini hanya berpenduduk sekitar 2.800 jiwa. Sangat sedikit untuk sebuah kota yang cukup besar seluas 113 km.

Tak heran jika kehidupan di kota ini sangat tenang, jauh dari kemacetan dan berbagai kebisingan lainnya. Mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor jasa wisata, di lembaga pemerintahan, sektor pendidikan dan usaha pertanian. Semua penduduknya sangat sadar dengan teknologi. Bahkan rumah-rumah warga di wilayah pedalaman pun sudah terpasang dengan internet.

Ketika beberapa waktu politik Amerika memanas dengan kampanye pemilihan kandidat presiden internal di tubuh Partai Demokrat dan Partai Republik, suasana Barton justru adem ayem. Masyarakat di sini terkesan tak terlalu peduli dengan dinamika politik itu, walau mereka tetap kritis melihat kandidat yang bersaing.

Demikian juga saat meletusnya kerusuhan rasial di Dallas awal Juli 2016, Barton sama sekali tak merasakan imbasnya. Kehidupan masyarakat di kota ini sangat damai dan toleran, meski jumlah imigran relatif sedikit. Kalaupun ada kaum pendatang, mereka adalah pelajar asal Tiongkok yang menempuh pendidikan di berbagai sekolah di sini.

Kehadiran pelajar-pelajar asal Tiongkok di Amerika memang merupakan sebuah fenomena yang terus menguat sejak tiga tahun terakhir. Menurut catatan America Foreign Policy, jumlah pelajar asal Tiongkok yang bersekolah di Amerika hingga 2016 berkisar 310.000 jiwa. Mereka tersebar hampir di semua wilayah Amerika dan semua lembaga pendidikan, mulai dari tingkat SMP hingga perguruan tinggi. Jumlah pelajar asal Negeri Tirai Bambu itu di Borton berkisar 30 orang.

Saya tak ingin membahas tentang pelajar Tiongkok atau China dalam laporan ini. Cuma sekadar menggambarkan kalau kota ini juga merupakan tempat belajar yang sangat menyenangkan.

Barton memiliki dua danau yang sangat indah, yaitu Danau Kristal dan Danau Willoughby. Keduanya selalu ramai didatangi pengunjung. Selama dua minggu di kota ini saya sering menghadiri pertemuan komunitas masyarakat. Tak terlalu menarik, malah cenderung membosankan. Peserta yang hadir umumnya nenek-nenek atau para orang tua. Mereka membicarakan rencana tata kota guna menjawab rencana pemerintah yang akan mendatangkan investor untuk membangun perumahan di wilayah itu.

Pertemuan seperti ini merupakan hal biasa di sejumlah kota Amerika. Perdebatan yang muncul tak lain soal lingkungan. Dinamika yang muncul selama pertemuan adalah sorotan utama saya selama berada di kota ini. Saya diundang Pemerintah Kota Barton untuk menyaksikan proses demokrasi yang berlangsung di kota itu dalam setiap pengambilan keputusan terkait kehidupan masyarakat.

Perdebatan yang terlihat sebenarnya biasa-biasa saja. Cuma prosesnya cukup menarik, sebab masyarakat di kota ini memiliki hak suara untuk memutuskan apakah rencana investasi itu dapat diterima atau tidak.

Untuk kasus Barton, pada akhirnya masyarakat sepakat menolak investor yang akan membangun ratusan rumah di wilayah itu. Mereka tak ingin hutan asri di kota itu dirusak oleh pembangunan real estate.

Sikap kritis masyarakat ini yang membuat wajah Kota Barton tak banyak berubah dari tahun ke tahun. Bahkan ketika saya bandingkan suasana Barton di masa lalu melalui foto-foto tua, suasana yang sekarang jauh lebih asri karena lebih hijau dan tertata rapi. Sungguh berbanding terbalik dengan kondisi negeri kita di Indonesia, apalagi di Aceh yang lingkungannya cenderung rusak dari tahun ke tahun.

Satu-satunya kesulitan saya selama tinggal di kota ini adalah shalat berjamaah. Ketiadaan masjid dan ketidaktahuan masyarakat soal Islam, apalagi puasa Ramadhan dan Syawal, membuat saya hidup seperti di wilayah yang buta agama. Di kota ini banyak terdapat gereja tua dengan bangunan yang sangat indah, tapi masyarakatnya tak terlalu antusias beribadah di gereja. Menjelang dua pekan menjelajahi kota ini, saya tak pernah sekalipun bertemu seorang muslim. Sudah bertanya ke beberapa masyarakat lokal, tapi mereka tak tahu.

Sungguh sangat menarik, sebuah kota yang menerapkan nilai-nilai sebagaimana ajaran Islam, tapi sama sekali tak mengenal Islam. Kepada salah seorang tokoh masyarakat setempat, Moira O Niel, 64 tahun, saya perkenalkan diri sebagai pendatang dari Indonesia dan merupakan seorang muslim. "Tapi mohon jangan pernah menganggap Islam itu sebagai agamanya teroris," ujarku seraya bercanda.

"Oh, tidak. Saya tidak percaya ada agama yang mengajarkan teror," jawabnya. Moira hanya mengenal Islam dari buku dan berita, sama sekali tak pernah bertemu komunitas Islam sebelumnya.

Tentang ketenangan dan kedamaian yang menjadi ciri khas kota ini, ia mengaku sama sekali tak bisa menjelaskan semua itu dengan nilai-nilai agama. "Situasi damai yang berkembang di kota ini tidak lain karena kesadaran masyarakatnya yang peduli akan lingkungan, taat aturan, dan hidup secara demkokratis," katanya.

Meski populasi Barton relatif sedikit, tapi kesadaran masyarakatnya membayar pajak sangatlah tinggi. Bahkan yang ingin mancing ikan di danau pun harus bayar pajak memancing. Ada beberapa hobi yang dikenai pajak di kota ini. Pada akhirnya penghasilan pajak itu dikembalikan lagi kepada rakyat melalui pembangunanan kota. Itu sebab masyarakat kota ini sangat kritis dengan kebijakan tata kota, sebab mereka tahu dana pembangunannya berasal dari mereka.

Kejujuran, kepedulian, dan kepatuhan pada aturan adalah kunci keberhasilan pemerintahan dan kehidupan di kota ini. Semua itu sangat sesuai dengan substansi Islam yang diajarkan kepada saya sejak kecil di Singkil. Bedanya, masyarakat di sini tak menjalankan ritual Islam, sebab mereka bukan penganut Islam. Mereka malah tak kenal Islam.

Karena itu, Moira merasa aneh jika saya kait-kaitkan suasana kota itu dengan ajaran Islam. "Kami tak mengerti apa pun tentang Islam. Jika Anda mengklaim suasana kota kami sangat islami, kami tidak bisa mengomentarinya."

Saya sedikit malu dengan jawaban itu. Tapi itulah realitanya. Di kota ini saya menemukan Islam yang substantif, tapi tidak menemukan orang Islam. Sementara di negeri sendiri, muslimnya bertebaran di mana-mana, tapi Islam secara substantif sepertinya masih agak langka.

[Ahmady Meuraxa, Special Guest of Honor at Barton, melaporkan dari Vermont, Amerika Serikat]