Shukran, salah satu wanita Suriah yang bercerita penderitaan di negaranya
"Semua dari kami telah terpengaruh dalam perang ini, tetapi tujuan utama adalah untuk menyingkirkan anak-anak muda," kata Shukran, 32, wanita Suriah yang jadi penerjemah untuk James Harkin, jurnalis yang melakukan perjalanan ke Suriah dengan dukungan dari Pulitzer Center on Crisis Reporting.
Jurnalis ini baru saja menerbitkan bukunya tentang kebangkitan Islamic State.
Menurut Shukran, perang Suriah telah meninggalkan negaranya tanpa laki-laki yang memenuhi syarat. Konflik, kata dia, membuat kaum perempuan sulit untuk menemukan suami yang baik.
Dia meratapi para pemuda Suriah tewas karena berkelahi satu sama lain. Banyak pemuda memilih menjadi migran ke luar negeri dan tidak sedikit pemuda telah mendekam di penjara rezim Pemerintah Suriah.
Shukran mengatakan seiring dengan “menghilangnya" para lelaki setiap harinya akibat perang, jumlah wanita lajang dan janda meningkat sepanjang waktu. Sebuah jajak pendapat baru-baru ini menyatakan, jumlah perempuan Suriah yang belum menikah mencapai 70 persen.
Hubungan terakhir Shukran kandas karena pacarnya adalah seorang pria Kristen dan dia seorang wanita Muslim Druze.
"Dua tahun pertama, kami berada di 'surga'," katanya mengenang masa lalunya. Kemudian konflik datang dan pasangan itu menghabiskan seluruh waktu mereka dengan menonton kengerian dari perang Suriah di YouTube atau berita malam.
"Kami berhenti berbicara satu sama lain, atau melakukan hal-hal bersama-sama, dan hanya menyalakan televisi," ujar Shukran.
Perang Suriah, termasuk perang sektarian, memicu perdebatan agama antara Shukran dan pacarnya. Hubungan mereka akhirnya kandas.
Krisis uang, lanjut Shukran, juga menjadi faktor yang lain. Dalam situasi perang, sulit bagi warga Suriah menemukan pekerjaan, terutama para kaum pria.
"Seorang pemuda yang saya tahu dari Homs, yang juga belajar keras, sedang berbicara dengan seorang wanita cantik di pantai Suriah, di Facebook dan Viber selama berbulan-bulan dengan maksud untuk menikah, tapi ayahnya menolak karena ia tidak memiliki pekerjaan. Bahkan sebelum mereka bertemu, hubungan tersebut terputus," kata Shukran.
Yara, seorang guru perempuan 23 tahun, memperkirakan bahwa sekarang ada empat perempuan untuk setiap satu pria di lingkaran teman-temannya.
"Orang-orang yang lahir di akhir 1980-an atau awal 1990-an, adalah generasi yang hilang," katanya. Mereka menjadi korban krisis Suriah yang sudah berlangsung hingga lima tahun terakhir.
"Sekarang satu-satunya mimpi adalah untuk (melakukan) perjalanan," ujar Yara. Perempuan ini merindukan teman prianya.
Krisis lelaki, juga menjadi alasan beberapa pria menjalani hidup poligami. “Kadang-kadang seorang pria memiliki hingga empat istri. Para wanita akan menderita," kata Yara yang memiliki teman-teman di daerah pemberontak dari Suriah utara.
Ghoufran, 35, wanita Suriah yang membuat dokumenter mengatakan hanya para remaja yang masih terlalu muda yang berkesempatan menjalani kehidupan romantis."Mereka adalah anak-anak sekolah," ujarnya.
Shukran menambahkan beberapa wanita Suriah mengakui bahwa mereka menderita karena hidup sendirian. Tak jarang mereka menerima pendamping pria yang usianya jauh lebih tua.
"Mereka melajang dan tidak ingin sendirian atau (hidup) tanpa anak, sehingga mereka menerima. Tapi para pria hanya ingin bersenang-senang, bermain seks," kata Shukran.
"Banyak dari mereka yang menikah. Kebanyakan hanya ingin berselingkuh," lanjut dia. "Saya sudah tergoda."
Dampak lain dari krisis lelaki di Suriah akibat perang diceritakan Yara. Menurutnya, sekitar 10-20 persen dari teman-teman perempuannya telah menjadi lesbian.
Yara mendengar pengakuan teman-temannya ketika berkumpul di meja makan. Yara menyadari, praktik homosekual adalah tindakan ilegal di Suriah, tapi hampir tidak ada yang dituntut karena negara sedang kacau."Saya terkejut," ucap Yara ketika mendengar pengakuan teman-teman perempuannya.
"Ini bukan berarti bahwa saya tidak menerimanya. Itu normal," imbuh dia, seperti dikutip Daily Mail, hari Selasa (21/6/2016).
[Sumber: sindonews.com]