Jawaban "terbaik" yang bisa diberikan atas pertanyaan itu adalah, agar bangsa ini tidak terpecah dalam isu agama. Lebih tegas lagi, agar tidak terpecah dalam isu Islam dan anti Islam. Tentu jawaban ini bisa kita pertanyakan dengan kritis. Apakah dengan Ma'ruf Amin sebagai cawapres lantas serangan yang menuduh Jokowi anti Islam akan berkurang? Sejauh yang bisa saya pantau, sepertinya tidak. Jokowi kini dituduh hanya memanfaatkan Ma'ruf, menjilat ludahnya sendiri soal "jangan mencampur agama dengan politik".
Jawaban yang lebih realistis, Jokowi ingin memastikan elektabilitasnya tidak tergerus oleh hantaman isu anti Islam yang terus diembuskan oleh pihak lawan. Beberapa survei menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi sudah di atas 50%, jauh meninggalkan Prabowo. Tapi, sepertinya Jokowi belum cukup yakin.
Elektabilitas itu memang masih mungkin berubah, khususnya ketika pasangan calon presiden dan wakilnya menjadi lebih definitif. Di luar soal hantaman isu anti Islam itu, Jokowi masih harus berhadapan dengan soal ekonomi. Nilai tukar dolar terhadap rupiah yang masih terus menanjak adalah momok yang sangat menakutkan. Publik tidak begitu peduli apakah kenaikan nilai tukar itu berpengaruh langsung pada hidup mereka atau tidak. Angka kenaikan itu saja sudah cukup untuk membuat orang merasa tidak nyaman. Itu masih ditambah lagi dengan defisit neraca perdagangan beberapa bulan terakhir, yang menunjukkan angka yang mengkhawatirkan.
Tegasnya, Jokowi sendiri tidak yakin dengan kinerjanya, khususnya di bidang ekonomi. Jokowi juga tidak punya formula jitu, yang bisa memastikan masalah nilai tukar dan defisit neraca perdagangan itu bisa ia selesaikan, karena kuatnya faktor eksternal yang berpengaruh di situ. Belum lagi isu utang luar negeri yang juga tidak bisa dijawab secara memuaskan.
Dalam situasi itu Jokowi merasa perlu untuk mengamankan apa yang bisa ia amankan. Ia tidak ingin mengulangi kegagalan Ahok, yang sukses merebut simpati pemilih dengan kinerja, tapi terjungkal akibat isu SARA. Isu anti Islam menurut Jokowi bisa ia amankan dengan memilih Ma'ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Apakah langkah itu akan efektif, kita harus menunggu hasil survei, juga hasil pemilihan kelak. Yang jelas, memilih Ma'ruf itu bukan didasarkan atas hal-hal yang lebih substansif, yaitu kepentingan bangsa. Alasan yang lebih jelas adalah sekadar untuk memastikan kemenangan Jokowi.
Jawaban-jawaban di atas menegaskan bahwa publik, termasuk para pendukung Jokowi sadar betul bahwa Ma'ruf bukanlah orang yang diharapkan benar untuk jadi Wakil Presiden. Meski pernah menjadi anggota DPR, Ma'ruf bukanlah politikus yang tampak menonjol kemampuannya dalam isu-isu kenegaraan. Ia memang seorang ulama, perannya tidak jauh-jauh dari situ.
Dengan terang benderang ada yang mengatakan bahwa Wakil Presiden itu toh tidak akan ada perannya. Orang lupa bahwa kalau Presiden berhalangan tetap, maka Wakil Presiden akan menjadi Presiden. Bisakah kita harapkan peran itu dijalankan Ma'ruf Amin?
Jokowi diserang dengan isu agama. Pilihan yang ia punya adalah mengabaikannya, dan terus menunjukkan kinerja. Sesekali ia hanya perlu melakukan komunikasi politik, memastikan bahwa ia tidak anti Islam. Tuduhan anti Islam itu sebenarnya memang tidak ada dasarnya.
Tapi, Jokowi lebih suka memainkan tarian sesuai musik yang dimainkan lawan. Lawan memainkan musik agama, Jokowi pun menarikannya. Ia gaet Ma'ruf Amin untuk menunjukkan bahwa dia tidak anti Islam.
Dalam konteks pendidikan politik Jokowi bisa dikatakan takluk pada pemilih tidak rasional, yang lebih mementingkan hal-hal tidak substansial, yaitu soal agama. Terlebih soal agama itu pun tidak berdasar pada fakta yang nyata. Lebih berupa persepsi. Artinya, selain takluk pada isu tidak rasional, Jokowi juga takluk pada persepsi publik.
Dalam situasi ketika orang begitu mudah digiring dengan jargon-jargon agama, kita membutuhkan seorang politikus yang mampu mementahkan itu dengan kinerja. Ahok dulu nyaris berhasil. Sayangnya ia pun tidak cukup percaya diri, sehingga terpeleset untuk mengomentari serangan SARA yang ditujukan kepadanya. Jokowi sebenarnya punya modal yang lebih baik daripada Ahok. Ia adalah seorang muslim, sehingga dalil Al-Maidah 51 tidak bisa dikenakan padanya. Lagi pula, ia punya rekam jejak kinerja yang jauh lebih baik. Ia hanya perlu sedikit cerdik memainkan komunikasi politik. Sayangnya, Jokowi tidak memilih jalan itu. Ia tercebur dalam pola permainan lawan.
Apakah taktik ini akan jitu dan memenangkan Jokowi? Ini masih harus kita buktikan. Kemungkinannnya bisa banyak. Ada kelompok pemilih Jokowi yang kecewa dan akan tidak memilih atau golput. Walau mereka tidak menyeberang ke kubu lawan, Jokowi sudah kehilangan suara. Sementara itu, pihak yang diharapkan akan memilih Jokowi belum bisa dipastikan akan memilih.
Artinya, Jokowi telah menggerus basis massanya sendiri, dengan harapan akan mendapat tambahan suara lebih besar, tapi belum pasti.
Jawaban yang lebih tepat, dan pragmatis, Jokowi takluk di bawah "ancaman" PBNU, yang menyatakan tidak akan mendukung kalau cawapresnya bukan dari NU. Semua ini adalah taktik yang dimainkan oleh Muhaimin Iskandar, yang mencoba memanfaatkan PBNU untuk memperkuat posisinya di sisi Jokowi. Tapi, Jokowi berkelit dengan memilih Ma'ruf.
Apapun jawabannya, alasan memilih Ma'ruf adalah untuk keperluan jangka pendek saja, yaitu Jokowi menang dalam pilpres.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
[
Sumber: detik.com]