"Saya yakin begitu tragedi itu terjadi mereka langsung menuduh umat Islam di belakang kejadian itu, lama-lama kami terbiasa dengan tudingan itu, kami tak berharap perlakukan lain dari pemerintah," kata Rachid, seorang pemuda Muslim kota Nice.
Kawan-kawan Rachid, yang berusia antara 18-23 tahun itu, membenarkan pendapat pemuda tersebut.
Di sisi lain, para pemuda ini tak membenarkan perbuatan Mohamed Lahouaiej Bouhlel yang menabrakkan truk berbobot 19 ton ke kerumunan orang.
"Apa yang dia lakukan sangat buruk. Hanya saja media, polisi dan masyarakat mengatakan dia melakukan perbuatannya karena dia adalah Muslim," ujar Rachid sambil mengangkat tangannya ke udara.
"Dia (pelaku) bukan Muslim yang taat, dia melakukan perbuatannya karena memiliki masalah, dia melakukannya bukan karena dia Muslim," dia menegaskan.
Yusuf, salah satu rekan Rachid, kemudian ikut angkat bicara.
"Apakah kau tahu, pelaku berlatih dua hari sebelum melakukan serangan? Saya mendengarnya dari berita. Itu menunjukkan dia begitu profesional," ujar Yusuf.
Dia mengatakan, kabar itu menunjukkan bahwa pelaku memang sudah merencanakan perbuatannya.
"Tapi hal itu tidak membuktikan dia adalah teroris atau pengikut ISIS," tambah Yusuf.
Mohamed Lahouaiej Bouhlel (31), mantan sopir pribadi dan kurir itu, menyewa truk pendingin makanan pada 11 Juli.
Dua hari setelah menyewa truk itu, rekaman CCTV memperlihatkan dia mengendarai truk tersebut di Promenade des Anglais, lokasi dia melakukan serangan.
Sementara itu, Boubekir Bakri, seorang imam masjid di wilayah utara Nice, mengatakan dia sudah mengkhawatirkan penyebaran radikalisme Islam sejak enam tahun lalu.
Pada Desember 2014, Bakri menggalang pertemuan yang bertempat di masjidnya antara pejabat pemerintah dan para ulama untuk menghadapi fenomena itu.
Tiga pekan setelah pertemuan tersebut, terjadi serangan di kantor majalah Charlie Hebdo dan sebuah toko Yahudi di Paris.
Bakri mengatakan, ektremisme menciptakan luka bagi komunitas Muslim Perancis.
Dia mengatakan angka pengangguran yang tinggi di antara para pemuda Muslim menurunkan "imunitas" warga dari ideologi radikal.
"Kami harus semakin giat melakukan sosialisasi dan kegiatan, dunia mengira kejahatan semacam ini mewakili wajah Islam. Dia tidak (mewakili Islam)," ujar Bakri.
Di distrik Abbatoir, tak jauh dari Promedae das Anglais, yang banyak dihuni warga Muslim, angka pengangguran memang sangat tinggi.
Kondisi ini membuat para pemuda ini rentan disusupi ideologi dan pemikiran ekstrem.
Salah satu yang mengambil keuntungan dari kondisi ini adalah Omar Diaby, pemuda keturunan Senegal. Dia membuka toko makanan ringan dan mengelola sebuah klub sepak bola.
Kegiatan ini menarik para pemuda berusia 16-25 tahun. Dia lalu mendistribusikan video games bersama ajaran-ajaran ideologi ekstrem kepada para pemuda itu.
Dua tahun lalu, Diaby pergi bertempur di Suriah melawan rezim Bashar al-Assad bersama Jabhat al-Nusra yang berafiliasi dengan Al-Qaeda.
Beberapa orang asal Nice mengikuti jejak Diaby, termasuk sebuah keluarga yang beranggotakan 11 orang yang di dalamnya terdapat anak-anak dan seorang bayi.
Lalu bagaimana pandangan para pemuda Muslim kota Nice, seperti Rachid, soal rekan-rekannya yang berangkat ke Suriah?
"Sebagian orang marah dengan kondisi di Suriah lalu pergi ke sana untuk memerangi Assad. Namun di sana mereka ditembaki AS dan Rusia, siapa yang tahu kejadian di sana? Anda tak bisa memercayai perkataan siapapun," kata Rachid.
Rachid dan teman-temannya menegaskan mereka tak berniat bertempur di Suriah, tetapi mereka juga tak mau bekerja untuk Perancis, misalnya menjadi tentara.
Padahal, Menteri Dalam Negeri Perancis Bernard Cazeneuve mengimbau para pemuda negeri itu untuk menjadi anggota pasukan cadangan.
Anjuran ini disambut dingin Rachid dan kawan-kawannya.
"Anda tahu bagaimana aparat keamanan bersikap setelah terjadi serangan seperti ini? Mereka datang seperti pasukan pendudukan, mereka bertindak keras dan mulai menanyai setiap orang," ujar Marrouane.
"Kami tahu ISIS sedang merekrut anggota di kota ini, di kawasan ini. Kami ingin ISIS menjauh dari para pemuda," kata Marrouane.
"Tetapi, ISIS merekrut para kriminal, yang sudah terbiasa memiliki kehidupan rahasia, itulah mengapa mereka selalu berhasil dri waktu ke waktu," tambah dia.
[Sumber: Independent]